Sabtu, 19 November 2011

Terbuang dari Negeri Sendiri, Sukses Menjadi Insinyur BOEING di AS








Inilah Kiprah Para Insinyur Alumni IPTN Di Boeing , Washington, Seattle,AS


ALUMNI PT DIRGANTARA INDONESIA: Agung, Bram dan Tonny, 3 dari sekira 30 orang Indonesia yang eksis di Boeing.
Kemana saja alumni IPTN atau PT Dirgantara Indonesia (DI) setelah pabrik pesawat terbang nasional itu 'diberangus' IMF? Lebih dari 100 orang tersebar di Inggris, Prancis, Jerman (Airbus), Brasil, Kanada, dan Amerika Serikat (AS). Sekira 30 di antaranya berkarir di Boeing Company, Seattle.

SEPERTI apa rasanya jadi orang Indonesia yang kerja di Boeing. "Bangga sekaligus sedih," kata Agung H Soehedi dan Bramantya (Bram) Djermani. "Saya bangga sekaligus prihatin," ujar Tonny Soeharto. Itulah ungkapan perasaan ketiga orang Indonesia tulen itu yang kini berkarir di Boeing Company, pabrik pesawat terbang terkemuka dan tertua di dunia. Agung, Bram, dan Tonny merupakan 3 dari sekira 30 orang Indonesia yang kini bekerja di Boeing. Mayoritas 'alumni' PT Industri Pesawat Terbang Nusantara atau PT DI Bandung.

Agung misalnya. Pria kelahiran 8 Mei 1963 di Temanggung, Jateng itu lebih dari 10 tahun berkarir di IPTN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-98 memaksa IPTN gulung tikar dan direkomendasi oleh IMF untuk diberangus. "Sebelum itu saya sudah memutuskan ke Amerika," kata Agung.
Mula-mula dipersulit mendapatkan paspor. Setelah tak lagi jadi PNS, paspor dan visa diperoleh. Mulailah alumni Itenas Jakarta (1990) itu adu nasib di Boeing. "Alhamdulillah saya diterima," kata lulusan SMP Negeri Purwekerto dan SMA Negeri 3 Bandung itu.





Tragedi 9/11 yang meruntuhkan gedung kembar WTC di New York membuat orang-orang takut naik pesawat. Permintaan pesawat jatuh, dan Boeing melakukan PHK besar-besaran. "Saya termasuk yang di-PHK," kata Agung.
Banyak pekerjaan yang dilakoni oleh ayah 4 anak ini untuk survive di Amerika. Menjadi tukang cuci mobil, sopir shutle bus, pengatur dan pembuat taman, memperbaiki rumah, hingga punya perusahaan perumahan (office building). "Usaha saya dan partner maju. Tahun 2006 Boeing kembali mempekerjakan saya. Partner saya tak mau melepas, tapi saya bersikeras kembali ke Boeing," kisahnya.

Dua kali sang partner mengalami kecelakaan mobil pasca Agung menyatakan kembali ke Boeing. "Akhirnya partner saya bilang silakan kerja di Boeing lagi, tapi saya tetap menjalankan perusahaan bersama dia," katanya. "Alhamdulillah Boeing tak masalah."

Di industri pesawat yang didirikan William Boeing itu, Agung kini menjadi salah satu lead di bagian neuro body (pembuatan) pesawat. Jabatan resmi pria yang sudah punya green card USA itu Structural Analysis Engineer. Lulusan SD Purwekerto ini pernah menangani bidang stress analysis di pembuatan pesawat Boeing 737, dan Boeing 757. "Saya mau dipindah ke pembuatan Boeing 777. Tapi saya menolak," katanya.

Sesuatu yang tak lazim lantaran tak biasanya orang menolak tugas di Amerika. Apalagi kalau dipromosikan. "Saya bilang mau keluar kalau dipaksa pindah," kisahnya. "Bos saya bilang, sama sekali tak terpikirkan Anda keluar dari Boeing." Itu menunjukkan kapasitas dan kualitas Agung tak diragukan. Sama seperti Tonny Soeharto yang berayah Bali dan beribu Purworejo (Jateng) itu. Jabatan resmi lulusan ITB tahun 1982 itu Lead Engineer -MB Production Support Engineering Boeing 777. Di pembuatan besar berbadan lebar untuk lintas benua yang paling laris itu, Tonny dipercaya menjadi pimpinan di salah satu bagian yang vital.

Tonny alumni tulen IPTN. Masuk tahun 1982 di pabrik pesawat kreasi BJ Habibie itu, Tonny meminta pensiun dini dari IPTN pada 1998. Semasa di IPTN, ayah dua anak ini pernah ditugaskan belajar di Boeing. Karena itu, tak sulit Tonny diterima di Boeing tahun 1999. "Saya orang IPTN pertama yang kerja di Boeing," katanya."Tak terbayangkan kita orang Indonesia membawahi orang-orang Amerika di Boeing. Alhamdulillah itu bisa kami capai di sini," kata Tonny dengan mata berkaca-kaca. "Mereka respek dan menghargai kemampuan kita orang Indonesia. Saya juga dengan bangga bilang sebagai 'alumni' IPTN," kisah pria yang mempersunting gadis asal Bangkalan Madura ini.
Anak tertua Tonny tamatan Universitas of Washington (UW), Seattle, mengikuti jejak ayahnya sebagai engineer dan sudah mempersunting gadis asal Vietnam. Anak kedua, memilih jurusan Arsitek di UW. "Alhamdulillah kami juga terus berusaha membantu siapa saja anak Indonesia yang kuliah di sini (Seattle dan sekitarnya).

Bramantya 'Bram' Djermani tak kalah membanggakan. Pria yang akrab disapa Bram itu meninggalkan Jakarta tahun 1990, dan lulus dari University of Foledo, Ohio. Setelah tamat diterima di Boeing. Bram kini satu-satunya orang Indonesia di pembuatan pesawat Boeing 787 Dreamliner. Pesawat tercanggih produksi Boeing yang menggunakan bahan dasar komposit. Paling ringan di antara semua jenis pesawat komersil yang pernah ada, dan paling hemat bahan bakar. Saat ini sudah 800 pesanan, tapi belum satu pun masuk pasar dan beroperasi secara komersil. "Masih sedang dalam tahap persiapan," kata Bram.

Di pembuatan pesawat berjuluk Boeing Next Generation itu Bram memegang job Industrial Engineer. "Saya berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Untuk karir saya, dan mudah-mudahan menyumbang bagi nama baik Indonesia," katanya. Masih banyak orang Indonesia berkarir cemerlang di Boeing. Kholid Hanafi di pembuatan Boeing 737, Maurita Sutedja di bagian keuangan, dan Sulaeman Kamil. Yang terakhir ini mantan Direktur Teknologi IPTN dan pernah jadi Asisten Menristek-Kepala BPPT. "Kami semua bangga," kata Agung, Bram dan Tonny. "Kami membuktikan orang Indonesia tidak kalah dengan warga Amerika atau bangsa-bangsa lain di dunia."

Mereka mengakui, IPTN sangat berjasa bagi pembentukan kualitas dan kapabilitas. IPTN telah menempa mereka memiliki kualitas dunia untuk bidang teknologi pembuatan pesawat. "Menyebut IPTN tidak meragukan. Memudahkan untuk diterima," kata Agung dan Tonny. Para alumni IPTN ini rata-rata sudah hidup mapan di Amerika. Agung, misalnya, punya dua rumah yang megah. "Rumah saya seperti jadi tempat berkumpul mahasiswa asal Indonesia dan tempat penitipan barang-barang mereka," katanya saat menjamu saya di rumahnya 20446 96 Way, Kent, Washington.

Rata-rata mereka mendapatkan gaji pokok US$200.000 per bulan, sekira Rp1,86 miliar. Itu masih di luar tunjangan dan penghasilan tambahan lain-lain.
Walau begitu mereka tetap punya kerinduan mengabdi di tanah air. "Sedih karena semua kemampuan iptek yang kami miliki tak bisa dikembangkan atau dipakai di tanah air," kata Tonny. "Potensi dan kemampuan anak-anak Indonesia tak kalah. Sayang ndak bisa diaplikasikan di tanah air. Tidak ada ruang dan wadah yang cocok bagi penerapan dan pengembangan teknologi dirgantara di Indonesia," kata Bram.

"Saya ikut dalam proses pembuatan CN315, N250 dan N2130," kata Agung. Kalau kita konsisten mengembangkannya, ATR (anak perusahaan Airbus di Touluse, Perancis) sulit masuk pasar. "Saya prihatin dan sedih," ujar Agung.

Suaranya melemah. Matanya sayu. "Kita harusnya kini raja di pasar seperti dikuasai ATR sekarang." Apalagi, BJ Habibie menggunakan teknologi pesawat masa depan yang saat itu belum dimiliki pabrik pesawat lain: fly-by-wire. Boeing sendiri menggunakan teknologi ini di pembuatan B777 pada 1994. Teknologi ini pula yang kini digunakan oleh Boeing dan Airbus dalam merancang pesawat-pesawat masa depan. Sesuatu yang sudah lebih dulu diterapkan IPTN pada N2130. "Sedih dan prihatin. Itu tinggal kenangan," kata Agung, Tonny, dan Bram.

Selepas lulus dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jurusan Teknik Sipil tahun 1990, Agung H. Soehedi langsung bekerja di PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun 2001, selain disebabkan adanya gonjang-ganjing yang melanda internal perusahaan, Agung keluar karena ada kesempatan untuk mengembangkan karier di Boeing Company, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, AS.

Selepas lulus dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jurusan Teknik Sipil tahun 1990, Agung H. Soehedi langsung bekerja di PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun 2001, selain disebabkan adanya gonjang-ganjing yang melanda internal perusahaan, Agung keluar karena ada kesempatan untuk mengembangkan karier di Boeing Company, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar